SENI kaligrafi, yang mendapatkan
popularitas dan tempatnya tersendiri dalam kesenian Islam, karena tujuan
awalnya untuk memperindah lafal Allah dan didukung oleh ayat Alquran
(QS 68: 1 dan 96: 4), muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, serta
langsung mejadi primadona kesenian Islam.
“Kaligrafi lebih ditekankan pada al-khat al-jamilah, atau aksara yang sudah dipoles dengan keindahan, bukan tulisan biasa. Kata kaligrafi sendiri berakar dari bahasa Yunani: kalios (indah) dan graphos (tulisan),” ujar D Sirojuddin AR dalam diskusi seni kaligrafi Islam di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, 4 Agustus 2012.
Menurut Philip K Hitti dalam History of the Arabs,
pada tahap berikutnya, kaligarafi sepenuhnya menjadi karya seni Islam,
dan pengaruhnya terhadap seni lukis diakui oleh banyak kalangan. Melalui
karya kaligrafi, seorang muslim berusaha mencari saluran untuk
menyalurkan bakat seninya yang tidak bisa diekspresikan melalui
representasi objek-objek yang hidup.
“Seorang kaligrafer menempati kedudukan
yang terhormat dan mulia melebihi kedudukan para pelukis karena banyak
penguasa muslim yang berusaha mendapatkan kemuliaan agama dengan cara
memperindah salinan Alquran,” tulis Philip.
Diaspora kaligrafi ke Indonesia setua
gerakan pengislaman itu sendiri. Artefak kaligrafi kuno dapat ditemukan
pada makam Islam kuno, mushaf Alquran tua serta naskah perjanjian
kerajaan Islam di Indonesia. Dalam perkembangannya muncul kaligrafi
dalam wujud manusia dan hewan.
Seni kaligrafi di Indonesia tidak hanya dibuat oleh penulis murni kaligrafi (khattat),
tapi juga pelukis kaligrafi. Keduanya telah memperkaya perkembangan
kaligrafi. “Sebagai sebuah ilmu, maka kaligrafi memiliki metode dan
pembaruan dalam desain hurufnya,” kata Sirojuddin. Meski terkadang
terjadi perbedaan, pada akhirnya para khattat dapat menerimanya. “Para khattat
kemudian menyadari bahwa mereka kurang wawasan teknik, kurang mengenal
ragam media, terlampau lama terisolasi dari khalayak serta kelemahan
bahasa rupa,” jelas Sirojuddin.
Perkembangan kaligrafi sebagai karya
seni rupa juga tak lepas dari perkembangan seni rupa kontemporer dunia
sebagai wujud pembaruan atas kaidah murni kaligrafi klasik. Mereka
berusaha membebaskan diri dari gaya kaligrafi dominan seperti gaya Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Diwani Jalil, Kufi dan Riq’ah. Lamya Al Faruqi dalam Atlas Budaya Islam, membagi corak kaligrafi Islam kontemporer menjadi kategori tradisional, figural, ekspresionis, simbolis dan abstrak.
Khusus mengenai kaligrafi simbolik,
Sirojuddin menerangkan, “di Indonesia sendiri telah lama dikenal bentuk
rajah atau jimat, biasanya di dalamnya adalah kaligrafi yang dibentuk
menyerupai pedang atau sejenisnya."
Langgam kaligrafi kontemporer lebih
mengarah pada pengayaan tema seperti dua dimensi dan tiga dimensi. Para
pelukis Indonesia macam AD Pirous, Ahmad Sadali, Amang Rahman, dan Amri
Yahya, telah meramaikan seni kaligrafi kontemporer yang menekankan pada
eksplorasi teknik dan kebebasan berekspresi.
Keterlibatan pelukis dalam dunia
kaligrafi memunculkan istilah “lukisan kaligrafi” atau “kaligrafi
lukis”. Kedua istilah ini muncul kali pertama pada MTQ nasional XI tahun
1979 di Semarang. Lukisan kaligrafi sering dihubungkan dengan berbagai
ragam teknik penggarapan karya seperti teknik batik, teknik grafis,
teknik ukir kayu maupun teknik cor logam. Dalam khazanah lukisan
kaligrafi di Indonesia, sebuah huruf yang dilukis tidak hanya
menampilkan "huruf" itu sendiri secara mandiri.
"Keberadaan ′huruf′ dalam sebuah lukisan
kaligrafi merupakan bentuk pernyataan integral dalam sebuah lukisan itu
sendiri," ujar Sirojuddin "di sini huruf menjadi salah satu elemen
penyokong dalam sebuah lukisan."
Kenyataan sejarah dan pergumulan para khattat
serta pelukis kaligrafi dalam mencari sebuah gaya baru, menjadi dasar
diselenggarakannya Pameran Seni Dalam Kaligrafi Islam yang
diselenggarakan oleh civitas akademika FSRD IKJ mulai 1-8 Agustus 2012.
Dick Syahrir selaku ketua panitia pameran menerangkan, "Pameran ini
mencoba mengembangkan sense of art dari para civitas akademika
FSRD IKJ di bidang kaligrafi Islam untuk mencoba menemukan hal-hal
baru,” ujarnya, “dan momentum Ramadan cocok untuk penyelenggaraan
pameran ini."
Pada acara tersebut dipamerkan 49
lukisan dan 18 instalasi tiga dimensi. Salah satu karya lukisan
kaligrafi yang cukup menyita perhatian adalah lukisan berukuran 200 x
130 cm, bertajuk "Alif Lam Mim" karya Srihadi Sudharsono. Sedangkan satu
karya instalasi yang juga “misterius” adalah karya Agus Salim yang
berjudul "Alif" berbahan kayu nangka dengan cukilan. Patung kayu tiga
dimensi ini mengingatkan pada lukisan "Alif" milik Sosrokartono, kakak
RA Kartini, yang dibuatnya di Bandung. "Mungkin saja karya ini
terinspirasi dari Alif-nya Sosrokartono karena seniman-nya sendiri juga
berasal dari Jepara," ujar Dick Syahrir.